Bagikan

Allahu Akbar Allahu Akbar, wa Lillahil-Hamd

Jamaah shalat Idul Adha yang dirahmati Allah,

Manasik haji maupun ibadah qurban mempunyai kaitan sejarah –-secara horizontal– dengan keluarga penghulu para nabi yang menjadi teladan sepanjang masa yaitu keluarga Nabi Ibrahim a.s. Marilah kita kenang dan renungkan kembali satu episode dari kehidupan keluarga teladan tersebut.

            

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang salih. Maka kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai ananda sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu”. Ia menjawab: “Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang telah diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku tergolong orang yang sabar.” (QS Ash-Shaffaat 37 100 – 102).

 

Bayangkanlah betapa beratnya perintah yang difirmankan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim a.s. Sudah lama dia mendambakan seorang anak pelanjut  risalah tauhid. Baru pada masa tua, Allah berkenan mengabulkan permintaan Ibrahim a.s. Namun, saat cinta dan kasih sayang sedang tertumpah pada Ismail putera tersayang, tiba-tiba Yang Maha Memiliki memerintahkan untuk menyembelihnya. Alangkah beratnya. Walaupun Nabi Ibrahim a.s. dapat mengalahkan cintanya kepada anaknya demi cinta kepada Allah SWT, tapi beliau berpikir bagaimana menyampaikan perintah itu kepada Ismail yang masih belia. Bisakah Ismail memahami dan menerimanya dengan sepenuh hati? Akhirnya Nabi Ibrahim a.s. sampaikan kepada puteranya:

“…Wahai ananda, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” (QS Ash-Shaffaat 102).

Ternyata tidak kalah tabah dari ayahnya, Ismail dengan penuh iman menjawab:

“Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, in syaa Allah engkau akan mendapatiku tergolong orang yang sabar”.   (QS Ash-Shaffaat 102).

 

Dalam episode yang ringkas tersebut, paling kurang kita dapat mengambil 3 pelajaran yang sangat berharga sekali, yaitu tentang cinta, qurban dan pendidikan.

 

Allahu Akbar Allahu Akbar, wa Lillahil-Hamd

Jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia,

Pelajaran yang pertama adalah tentang Qurban dan Cinta.

Dapat dibayangkan betapa besarnya cinta Nabi Ibrahim a.s. kepada puteranya, Ismail a.s. Sesudah berpuluh tahun menunggu dan berharap, akhirnya Allah SWT berkenan mengaruniai beliau, pada masa tuanya itu dengan seorang putera yang diberi nama Ismail. Namun justru anak tercinta yang baru saja didapatkan itu harus dikorbankan. Betapa besarnya konflik batin yang yang terjadi pada diri Ibrahim a.s. Tetapi beliau menyadari sepenuhnya bahwa cinta kepada anak tidak bisa disejajarkan, apalagi melebihi cintanya kepada Allah SWT. Cinta kepada Allah SWT harus lebih utama daripada cinta kepada siapa saja, termasuk diri sendiri.

 

Memang seseorang dibenarkan oleh Allah mencintai ibu-bapak, suami atau isteri, sanak saudara, harta benda, pangkat dan lain-lain karena semuanya itu bersifat fitrawi, artinya sesuai dengan fitrah manusia. Setiap manusia mempunyai kecenderungan demikian sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:

 

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak jenis dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-bintang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kamu kembali yang baik (surga)”. QS Ali Imran 3 : 14).

 

Tetapi sebagai orang yang beriman, siapapun harus menyadari sepenuhnya bahwa dia harus menomorsatukan cinta kepada Allah SWT melebihi cinta kepada apa dan siapapun, termasuk melebihi cinta kepada dirinya sendiri. Bagi dia seperti yang sudah disebutkan tadi, cinta kepada Allah di atas segala-galanya. Tentang hal ini ditegaskan Allah SWT:

“… Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah” (Al-Baqarah 2: 165).

 

Bagi seorang mukmin hanya cinta kepada Allah dan RasulNya sajalah yang tiada batas. Sedangkan cinta kepada yang lain-lain mesti ada batasnya; yaitu sejauh yang diizinkan dan diridai oleh Allah dan RasulNya. Cinta kepada anak, isteri, harta, pangkat dan lain sebagainya tidak boleh melebihi cinta kepada Allah dan RasulNya. Bila hal itu terjadi, artinya bila cinta kepada anak, isteri, harta, pangkat dan lain-lain itu melebihi cinta kepada Allah dan RasulNya, ingatlah ancaman-Nya:

“Katakanlah (hai Muhammad): “ Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri/suami-suami, kaum keluargamu, harta kekayaaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan perintahNya (siksaNya), Allah tidak menunjuki kaum yang fasik (QS At-Taubah 9 :24).

 

Begitulah, dengan menyadari sepenuhnya di mana posisi cinta kepada anak dibandingkan cinta kepada Allah SWT, maka Nabi Ibrahim a.s. segera memutuskan untuk mengorbankan puteranya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Dan ternyata Ismailpun memperlihatkan bahwa cinta kepada (perintah) Allah lebih diutamakan daripada cinta kepada nyawa sendiri.

 

Inilah pelajaran pertama yang harus kita ulang-ulang dari kisah keluarga teladan itu terutama pada zaman di mana orang tidak lagi menghiraukan batas halal dan haram, baik dan buruk, haq dan batil dan batas-batas syar’i lainnya demi memburu apa yang ia cintai dalam kehidupan dunia ini. Demi untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya misalnya, banyak orang bersedia mengurbankan apa saja, termasuk mengorbankan harga diri bahkan keyakinannya sendiri, sehingga mereka terbelenggu dan lupa kepada Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa segala-galanya.

 

Kalau Ibrahim a.s. rela mengorbankan Ismail demi cintanya kepada Allah, mampukah kita meneladani beliau, mengorbankan apa-apa yang kita cintai demi cinta kita kepada Allah? Mampukah kita mengorbankan apa-apa yang kita sangat cintai demi menegakkan agama Allah? Misalnya maukah kita mengorbankan harta benda yang kita cintai demi menolong kemiskinan yang melanda jutaan saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air? Maukah kita menyumbangkan apa-apa yang kita miliki untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang melilit umat Islam baik di Indonesia maupun di belahan bumi lainnya? Hanya kita masing-masing yang bisa menjawabnya.

 

Allahu Akbar Allahu Akbar, wa Lillahil-Hamd

Jamaah sholat Idul Adha yang berbahagia.

Pelajaran yang kedua adalah tentang qurban dan pengorbanan.

 

Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari kisah Ibrahim a.s. adalah tentang qurban yang kemudian dilembagakan sebagai ibadah mahdhah setiap tahun bagi umat Islam. Sebagaimana yang dinukilkan dalam lanjutan ayat QS Ash-Shaffat tersebut, Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor kibasy yang besar sebagai balasan bagi kepatuhan dan ketabahan Ibrahim a.s. dan puteranya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar’. (QS Ash-Shaffaat 37:106-107).

 

Ibadah qurban melatih kita untuk rela mengorbankan apa saja demi mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana sudah kita singgung dalam uraian terdahulu. Sekarang mari kita tinjau lebih lanjut masalah ini. Istilah Qurban berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata kerja qariba artinya mendekatkan diri. Seseorang yang mencintai orang lain akan berusaha mendekatkan diri kepada orang yang dicintainya, walaupun dia harus mengorbankan sesuatu yang dimilikinya. Dalam pengertian ini seorang mukmin yang mencintai Allah SWT akan berusaha mendekati Allah dengan apa saja yang diinginkan oleh Allah “kekasihnya” itu, sekalipun harus mengorbankan apa saja yang dimilikinya sendiri seperti Ibrahim a.s. mengorbankan Ismail.

 

Secara ritual, qurban dilembagakan dengan menyembelih binatang ternak setiap Idul Adha atau Idul Qurban. Allah berfirman dalam QS Al-Kautsar ayat 2:

“Maka beribadahlah karena Tuhanmu dan berqurbanlah” (QS Al Kautsar 108:2).

 

Secara formal ritual, kita hanya menyembelih seekor kambing (untuk satu orang) atau seekor sapi (bisa untuk 7 orang) sekali setahun pada setiap sesudah shalat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah sampai akhir hari tasyriq tanggal 13 Dzulhijjah, tetapi secara spiritual kita dapat menangkap maksud yang lebih luas yaitu bagaimana agar kita dapat terlatih berkorban demi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apakah itu korban waktu, tenaga, pikiran, perasaan bahkan jiwa sekalipun untuk memperjuangkan apa-apa yang dipesankan oleh Allah lewat agama yang diturunkanNya yaitu Islam. Hikmah spiritual seperti itu akan semakin jelas, kalau kita kembali merenungkan peristiwa Ibrahim dan Ismail sebagaimana yang sudah kita sebutkan terdahulu.

 

Allahu Akbar Allahu Akbar, wa Lillahil-Hamd

Hadirin jamaah shalat Idul Adha yang dirahmati Allah,

Pelajaran yang ketiga adalah tentang qurban dan pendidikan.

 

Pelajaran ketiga yang dapat diambil dari peristiwa Ibrahim a.s. adalah bagaimana berhasilnya beliau sebagai seorang ayah mendidik puteranya Ismail a.s. menjadi seorang anak yang bukan saja berbakti kepada orang tuanya bahkan lebih jauh lagi mempunyai iman yang kuat kepada Allah SWT. Bisa dibayangkan betapa tingginya kualitas jiwa yang dimiliki Ismail a.s., hasil didikan orang tua yang bijaksana. Hanya orang tua yang memiliki kualitas jiwa yang tinggi pulalah yang bisa melahirkan anak-anak dengan kualitas jiwa yang tinggi. Perhatikan sikap Ismail a.s. menanggapi berita penyembelihannya. Bukan saja dapat menerimanya dengan tabah tetapi dia juga berusaha membantu bapaknya menghilangkan kebimbangan kalau-kalau kebimbangan itu ada. Dia meyakinkan bapaknya bahwa dia akan sabar menerima putusan Allah SWT.

 

Bisakah kita membayangkan bagaimana tanggapan anak-anak kita jika sekiranya dihadapkan kepada pilihan yang sangat berat seperti yang dihadapi oleh Ismail a.s. Bisakah kita mendidik anak-anak kita sehingga menjadi anak-anak yang saleh? Menjadi qurrata a’yun?

 

Untuk mendapatkan anak yang qurrata a’yun seperti Ismail a.s., orang tua harus berusaha sungguh-sungguh memberikan pendidikan yang utuh (tarbiyah mutakamilah) yaitu pendidikan yang seimbang antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani serta akal mereka. Kepada anak harus diberikan pendidikan aqidah, ibadah, dan akhlaq sedini mungkin di samping mengisi intelektualnya dengan bermacam-macam ilmu pengetahuan supaya fitrah Islamnya dapat dipelihara dan dikembangkan menjadi muslim yang baik. Apalagi di zaman yang penuh dengan macam-macam tantangan dan godaan seperti sekarang ini.

Wallahu a’lam bish-shawab.