Dr. M. Nurdin Zuhdi, S.Th.I., M.S.I.
(Dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta)
اَلْحَمْدُ ِللهْ وَالشُّكْرُ ِلله عَليٰ نِعْمَةِ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ اَلصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَليٰ مُحَمَّدٍ خَيْرِ اْلأَناَمِ وَعَليٰ اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اِليَ يَوْمِ الْقِيَامِ . يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
اَمَا بَعْدُ
اُوْصِيكُمْ عِبَادَ اللهِ وَاِيآيَ بِتَقْوَي اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Allahuakbar, Allahukabar, laa ilaaha illallah walluhu akbar. Allahukabr walillahil hamd.
Jamaah Shalat Idul Fitri Rahimakumullah…
Ramadhan telah berlalu. Hari ini, seharusnya kita terlahir sebagai manusia baru. Kebaruan kita sebagai manusia ini kemudian disempurnakan lagi dengan puasa enam hari di bulan Syawal. Hal ini membuktikan betapa Islam tidak berhenti menggembleng umatnya sedemikian rupa agar siap menjadi manusia “new normal”. Sebagai manusia new normal yang terlahir dari “karantina ruhani”, hendaknya kita mampu menjelma sebagai manusia baru yang unggul dan pilihan. Manusia new normal adalah wujud dari bertambahnya kadar keimanan dan ketakwaan. Inilah manusia baru yang mampu menularkan semangat dan membawa perubahan besar, baik bagi diri, keluarga dan lingkungan. Karena hakikat puasa dan idul fitri bukan hanya mengajarkan umatnya untuk saleh secara individual, namun juga saleh secara sosial.
Jika puasa Ramadhan diibaratkan ujian nasional, maka idul fitri adalah hari perayaan kelulusannya. Namun demikian, hendaknya euforia kelulusan tersebut jangan sampai melalaikan kita dari tugas yang juga tidak kalah penting dan mulia, yaitu menerapkan nilai-nilai fundamental puasa dan idul fitri dalam kehidupan nyata. Inilah ujian yang sesungguhnya. Selamat datang manusia baru dengan semangat dan perubahan baru. Setelah karantina ruhani yang panjang, saatnya kini kita bangkit dengan tekat dan semangat baru untuk berjuang memberikan perubahan.
Setidaknya ada dua nilai fundamental penting yang dapat kita petik dari puasa dan idul fitri serta rangkain ibadah yang mengirinya. Jika kedua nilai fundamental ini ada pada diri kita, itu artinya kita benar-benar terlahir sebagai manusia new normal yang sesungguhnya. Kedua nilai fundamental ini dapat kita bawa sebagai bekal untuk bangkit dan berjuang dalam melawan Covid-19 yang masih mencengkram negeri ini. Kedua nilai fundamental tersebut adalah lahirnya “sikap menahan diri” dan “akhlak empati”.
Allahuakbar, Allahukabar, laa ilaaha illallah walluhu akbar. Allahukabr walillahil hamd.
Jamaah Shalat Idul Fitri yang Berbahagia…
Kemampuan menahan diri adalah salah satu nilai fundamental penting yang dapat kita petik dari pelajaran puasa. Puasa telah mengajarkan kepada kita untuk bukan hanya sekedar belajar menahan diri dalam arti sempit, yaitu menahan diri dari tidak makan, minum dan hasrat biologis semata, mulai sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari, namun puasa juga mengajarkan kepada kita untuk menahan hati, pikiran dan seluruh anggota badan dari berbuat dosa yang dapat merugikan diri, orang lain dan alam semesta.
Jika sikap menahan diri yang diajarkan dalam madrasah Ramadhan tersebut dapat diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, maka kita akan melihat perubahan sosial bersekala besar terjadi di negeri dengan mayoritas penduduk muslim ini. Mengapa demikian? Karena banyaknya kerusakan yang terjadi di muka bumi adalah akibat ulah manusia yang tidak bisa menahan diri. Allah berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS Ar-Rum [3]: 41)
Kemapuan menahan diri adalah syarat pertama yang harus dimiliki sebagai manusia new normal. Coba kita perhatikan, betapa banyak kerusakan alam dan sosial yang terjadi di muka bumi ini akibat ulah manusia yang tidak bisa menahan diri. Contohnya, adanya kejatahan seksual karena manusia tidak bisa menahan pandangan dan gejolak syahwatnya; merebaknya kasus korupsi karena tidak bisa menahan pikiran dan tangannya untuk menguasai harta yang bukan haknya; adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena manusia tidak bisa menahan nafsu amarahnya; terjadinya banjir akibat manusia tidak bisa menahan diri untuk tidak menggunduli hutan dan membuang sampah sembarangan; terjadinya kecelakaan di lampu merah akibat pengguna jalan tidak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak menunggu lampu hijau. Terjadinya pembunuhan, miras, narkoba dan obat-obatan terlarang, adanya fitnah, banyaknya berita hoax, perzinahan, kekerasan pada anak dan perempuan, banyaknya kasus aborsi dan lain-lainnya adalah akibat manusia tidak bisa menahan diri.
Sikap menahan diri inilah yang harus kita bawa sebagai manusia new normal dalam melawan pandemi yang sedang melanda negeri ini. Menahan diri untuk tidak ke luar rumah kecuali memang sangat mendesak; menahan diri untuk tidak piknik dan jalan-jalan ke mall; menahan diri untuk tidak beribadah ke ruang publik; menahan diri untuk tidak marah-marah ketika tempat ibadah harus ditutup sementara; menahan diri untuk tetap tenang dan jangan panik; menahan diri untuk tidak mudik dan menahan diri lain-lainnya.
Jika sikap menahan diri ini benar-benar dapat kita tegakkan, maka dengan penuh optimis kita dapat menghentikan korona yang saat ini sudah mengenfeksi lebih dari 22 ribu penduduk Indonesia dan telah merenggut lebih dari 1300 korban jiwa (data 24 Mei 2020). Saat musim pandemi seperti ini sikap menahan diri adalah langkah terbaik dalam mencegah penyebaran korona yang semakin masif.
Allahuakbar, Allahukabar, laa ilaaha illallah walluhu akbar. Allahukabr walillahil hamd.
Jamaah Shalat Idul Fitri yang Berbahagia…
Puasa dan idul fitri bukan hanya mengajarkan kepada kita pentingnya akhlak simpati, namun juga akhlak empati. Jika simpati menggambarkan perasaan belas kasih dan sayang atas musibah yang menimpa seseorang, maka empati adalah kemampuan menempatkan diri pada posisi orang yang terdampak musibah sehingga kita mampu merasakan apa yang sedang menimpa mereka. Akhlak empati ini mampu menggerakkan diri untuk berbagi secara langsung, baik dalam bentuk moral maupun material. Akhlak empati adalah syarat kedua yang harus dimiliki sebagai manusia mew normal. Terlebih di musim pandemi seperti saat ini, akhlak empati benar-benar sangat dibutuhkan.
Saat ini, untuk mencegah penyebaran virus korona social distancing dan physical distancingmemang harus ditegakkan. Namun upaya menjaga jarak ini jangan sampai kebablasan sehingga mehilangkan roso kamanungsan (rasa prikemanusiaan). Seperti adanya beberapa oknum masyarakat yang tega mengusir orang dan menolak pemakaman jenazah pasien positif Covid-19. Saat ini fisik kita memang harus berjauhan, namun hati dan pikiran kita harus tetap saling bertautan. Saat ini jarak fisik memang harus direnggangkan, namun sikap solidaritas justru harus semakin dirapatkan.
Korona adalah ujian kemanusiaan. Ujian ini harus mampu membuka mata hati dan pikiran kita agar semakin peka dan rela untuk saling tolong-menolong (ta’awun) antar sesama. Saat ini kesalehan sosial berupa akhlak empati benar-benar sangat dibutuhkan. Namun sayangnya, hari ini masih banyak yang hanya fokus terhadap kesalehan individualnya saja. Padahal, kesalehan individual tidak ada artinya tanpa diiringi dengan kesalehan sosial. Orang yang hanya fokus pada kesalehan individualnya saja diancam dengan label “pendusta agama” (QS Al-Ma’un [107]:1-3).
Hari ini, di tengah merebaknya firus korona, kita masih menyaksikan betapa banyak orang yang masih egois mengejar kesalehan individual dengan memaksa tetap beribadah di ruang publik. Padahal, sudah banyak contoh kasus klaster penularan korona dari egoisme ibadah. Dengan tetap ngeyel beribadah di ruang publik, sedangkan korona masih merajalela, itu artinya dia telah mengancam nyawa diri, keluarga dan orang lain. Sedangkan orang yang tetap beribadah di rumah, walaupun hatinya sangat rindu ke tempat ibadah adalah cermin orang-orang yang saleh secara sosial karena dia bukan hanya mengutamakan keselamatan dirinya, tapi juga keselamatan nyawa keluarga dan orang lain. Kita harus ingat, bahwa agama mengajarkan untuk mengutamakan keselamatan jiwa terlebih dahulu dibandingkan mengutamakan keselamatan agama. Karena, menjaga satu nyawa bagaikan menjaga seluruh nyawa yang ada di dinuia. Begitupun sebaliknya, menghilangkan satu nyawa, maka dia dihukumi bagaikan menghilangkan seluruh nyawa yang ada di dunia. Allah berfirman:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ
“…barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…”. (QS Al-Maidah [5]: 32)
Dengan demikian, jangan pernah merasa bangga dengan kesalehan individual yang selama ini kita kerjakan jika tidak diiringi dengan kesalehan sosial, seperti rasa solidaritas pada sesama manusia. Ibadah ritual, seperti shalat, puasa, haji, zakat dan yang lainnya, tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Sia-sia sujud bertahun-tahun dan puasa berbulan-bulan, jika ternyata ada tetangga kita yang sedang kesusahan dan kelaparan. Saat musim pandemi seperti ini kesalehan sosial berupa akhlak empati benar-benar sedang dibutuhkan dalam membantu saudara-saudara kita yang terdampak korona. Jangan sampai label ‘pendusta agama’ menyemat pada diri kita. Saat ini adalah waktu yang tepat dan terbaik untuk membuktikan bahwa kita telah terlahir sebagai manusia baru. Inilah hakikat menjadi manusia new normal yang sesungguhnya.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٌ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اَلّلَهُمَّ اغْفِرْلِلْمُسِلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
اَلَّلهُمَّ اِنَّا نَسْاءَلُكَ سَلَمَتً فِي الدِّيْنِ وَعَافِيَتَ فِي الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِي الْعِلْمِ وَبَرَكَهً فِي الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ بِرَحْمَتِكَ يآاَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.
رَبَّنَآ أَتِنَآ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَآ عَذَابَ النَّار
سُبْحَانَ رَبكَ رَبّ الْعِزَةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمُ عَلىَ الْمُرْسَلِيْن وَالحَمْدُ ِللهِ رَبّ ِاْلعآلَمِيْن