Oleh: Ruslan Fariadi

Turunnya rintik-rintik gerimis merupakan fenomena alam yang tentu sangat istimewa bagi kami yang telah 2 bulan lebih tinggal di Kota Suci Madinah. Berbeda halnya dengan saudara-saudara kami di Tanah Air yang terbiasa dan surplus Air Hujan.

Karena selama tinggal di Madinah, suhu udara terasa sangat panas yang rata-rata di atas 40 derajat hingga 50 derajat. Saking panasnya suhu udara, hembusan angin di malam hari pun terasa seperti uapan sisa rebusan air panas.

Ketika melihat rintik-rintik gerimis, rasa suka citapun terluapkan dan berharap akan turun hujan untuk memberi kesejukan dan menghapus sis-sisa suhu panas yang masih bercokol.

Sering kali saya berfikir, wajar jika al-Qur’an menjadikan AIR sebagai “SIMBOL KEINDAHAN DAN KENIKMATAN SYURGAWI”. Karena itulah bentuk keindahan dan kenikmatan yang mampu tertangkap oleh bahasa dan indera kemanusiaan di saat ayat itu diturunkan.

Simbolisasi itu juga sebagai bahasa komunikatif al-Qur’an kepada para Mukhatabnya, khususnya manusia. Sehingga komunikasi bahasa al-Qur’an mampu tertangkap, dicerna, difahami, dinalar dan dirasakan oleh indera yang paling mendasar yang dimiliki manusia.

Sekalipun tentu simbolisasi keindahan dan kenikmatan Syurga tidak menunjukkan kesejatian dari keindahan dan kenikmatan Syurga yang sesungguhnya. Karena hakikat serta kesejatian keindahan dan kenikmatan Syurga takkan pernah terlihat oleh mata manusia saat ini (Ma La ‘Ainun ra-at), tak pernah terdengar oleh telinga manusia (Wa La uzunun sami’at), dan tak pernah mampu terbersit dalam benak dan lubuk manusia (Wa La khatara ‘ala Qalbil Bashar).

Subhanallah…

Madinah di sore hari jelang Maghrib, 5 Muharram 1444 H